Akhir akhir ini saya sering sekali terpapar dengan istilah ESG ataupun CSV. Sempat bingung dengan istilah istilah ini, apa lagi ini. Namun beruntung karena saya bertemu dengan seorang kolega yang sudah lama tidak bertemu, mungkin hampir 30 tahun lamanya.
Kita pun berdiskusi dan bertukar pikiran sedikit lebih panjang selain mengenang masa lalu jaman putih biru maupun putih abu abu. Saya yang pernah bekerja di korporasi dan juga sustainabiliity pun langsung menghubungkan antara ragam konsep mulai dari dari SDG nya UN, Triple Bottom Line, ESG, dan CSV. Dan ternyata ya memang itu adalah istilah istilah yang saling berhubungan dengan satu kepentingan, yaitu sustainability ataupun keberlanjutan. Belum lagi bila dilanjutkan dengan Dougnut Economic pasti semakin nyambung.
SDG atau sustainable development goal juga dikenal sebagai Tujuan Global, diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015 sebagai seruan universal untuk bertindak untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet ini, dan memastikan bahwa pada tahun 2030 semua orang menikmati perdamaian dan kemakmuran. Hal ini dalam tatanan negara.
The triple bottom line (TBL) adalah kerangka akuntansi yang mencakup hasil sosial, lingkungan dan keuangan sebagai dasar bisnis. Bisnis, organisasi nirlaba, dan entitas pemerintah menggunakan TBL untuk mengevaluasi keuntungan finansial mereka, serta dampak sosial dan lingkungan mereka.
Daripada hanya berfokus pada garis bawah standar, TBL menambahkan kepedulian sosial dan lingkungan untuk membantu mengukur dampak organisasi terhadap lingkungannya. Ini biasanya diukur dengan menggunakan tiga P: profit, people, dan planet.
Gagasan di balik TBL adalah untuk mengukur komitmen organisasi terhadap tanggung jawab perusahaan, lingkungan, dan sosial. Organisasi besar cenderung memiliki efek yang lebih besar pada orang dan lingkungan di sekitarnya, jadi memperluas garis bawah tipikal mereka dengan mempertimbangkan manusia dan planet ini dapat membantu meningkatkan kehidupan masyarakat dan kesejahteraan planet.
Istilah “triple bottom line” (sering disingkat menjadi “TBL” atau “3BL”) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 oleh John Elkington, penulis bisnis dan pendiri konsultan manajemen SustainAbility.
CSV atau Corporate Share Value merupakan konsep bisnis yang pertama kali muncul dalam artikel di Harvard Business Review Strategy & Society: Hubungan antara Keunggulan Kompetitif dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Konsep ini diperluas lebih lanjut dalam artikel lanjutan Januari 2011 berjudul “Menciptakan Nilai Bersama: Mendefinisikan Kembali Kapitalisme dan Peran Korporasi dalam Masyarakat” Ditulis oleh Michael E. Porter, otoritas terkemuka pada strategi kompetitif dan kepala Institut Strategi dan Daya Saing di Harvard Business School, dan Mark R. Kramer, Sekolah Kennedy di Universitas Harvard dan salah satu pendiri FSG, artikel memberikan wawasan dan contoh yang relevan dari perusahaan yang telah mengembangkan hubungan yang mendalam antara strategi bisnis mereka dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Pada 2012, Kramer dan Porter, dengan bantuan perusahaan konsultan nirlaba global FSG, mendirikan Inisiatif CSV untuk meningkatkan berbagi pengetahuan dan praktik seputar penciptaan nilai bersama (Value Creation) , secara global.
Premis utama di balik penciptaan nilai bersama adalah bahwa daya saing perusahaan dan kesehatan masyarakat di sekitarnya saling bergantung. Mengakui dan memanfaatkan hubungan antara kemajuan sosial dan ekonomi ini memiliki kekuatan untuk melepaskan gelombang pertumbuhan global berikutnya dan untuk mendefinisikan kembali kapitalisme.
Dalam konteks agar lebih mudah untuk dipahami bahwa Corporate Shared Value (atau Shared Value) merupakan pemikiran bisnis generasi baru yang meningkatkan posisi kompetitif perusahaan sementara pada saat yang sama memajukan masyarakat di mana ia beroperasi. Yang tentu ujung ujungnya adalah keberlangsungan perusahaan dengan mendapatkan keuntungan dari kegiatan ekonominya serta melanggengkan kelangsungan bisnis dengan dukungan dari pemegang saham yang mendapatkan keuntungan ekonomi juga.
Tidak hanya keberlanjutan perusahaan atau korporasi dalam menjalankan bisnisnya, namun juga pemegang saham atau investor yang membenamkan finansialnya untuk mendapatkan keuntungan perlu memastikan bahwa berjalannya operasional perusahaan dapat memberikan imbal hasil yang maksimal bagi setiap pemegang sahamnya. Sehingga perlu memastikan tata kelola perusahaan tersebut.
ESG atau istilah ESG pertama kali diperkenal pada tahun 2005 dalam sebuah studi berjudul “Who Cares Wins.” Kisah ESG sendiri dimulai pada Januari 2004 ketika mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menulis surat kepada lebih dari 50 CEO lembaga keuangan besar, mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam inisiatif bersama di bawah naungan UN Global Compact dan dengan dukungan Lembaga Keuangan Internasioonal (IFC) dan Pemerintah Swiss. Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk menemukan cara untuk mengintegrasikan ESG ke dalam pasar modal. Setahun kemudian inisiatif ini menghasilkan laporan berjudul “Siapa yang Peduli Menang”, dengan Ivo Knoepfel sebagai penulisnya.
Keberlanjutan bukan lagi renungan yang naif atau mimpi. Saat ini menjadi pertimbangan utama bagi banyak bisnis dan investor. Pergeseran dari mimpi ke kenyataan yang sulit mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah yang paling jelas dan bahwa ada permintaan untuk industri dan teknologi yang lebih bersih karena iklim di planet ini mulai memanas dan sumber daya mulai berkurang.
Kedua, dukungan publik untuk praktik dan produk berkelanjutan telah memperoleh daya tarik besar-besaran selama dekade terakhir. Menggabungkan ini dengan tingkat inovasi teknologi yang eksponensial, impian berkelanjutan untuk masa depan sekarang menjadi kenyataan yang masuk akal dan harus.
[ berlanjut ke bagian ke-dua ]